Senin, 19 Mei 2014


                                                  WARISAN TABIAT MANUSIA DI BAWAH HUKUM DOSA
                                                                              Oleh: Napoleon Manalu M.Th
 
 

  1. Pengertian

1.        Istilah Warisan Tabiat Manusia

Warisan tabiat manusia dibawah  hukum dosa adalah bahwa manusia telah memiliki sifat yang diwariskan sejak kejatuhan Adam. Sehingga kelahiran setiap orang berpeluang untuk melakukan kejahatan yang menyebabkan kematian dan maut.  Sebagaimana dijelaskan oleh Louis Berkhof, “Sejumlah ayat dalam Alkitab mengajarkan bahwa dosa diwarisi oleh manusia sejak ia dilahirkan dan dengan demikian ada dalam natur manusia sejak sedemikian awal sehingga tidak mungkin dapat disebut sebagai peniruan, Mzm 51: 5; Ayb 14: 4; Yoh. 3: 6. Dalam Efesus 2: 3 Paul berkata kepada orang – orang Efesus bahwa mereka oleh natur mereka adalah anak – anak yang dimurkai; kendatipun juga sebagai sisanya. Dalam ayat ini istilah pada dasarnya menunjuk kepada sesuatu yang dibawa lahir dan asli berbeda dengan pengertian akan sesuatu yang diperoleh kemudian. Jadi dosa adalah suatu yang asli yang dilakukan semua manusia dan menjadikan mereka bersalah di hadapan Allah. Lebih dari itu menurut Alkitab maut juga dialami bahkan juga oleh mereka yang tidak pernah melakukan suatu pilihan pribadi yang dilakukan dengan sadar, Roma 5: 12 – 14. Ayat ini mengandung pengertian bahwa dosa ada pada bayi – bayi sebelum mereka memiliki kesadaran moral. Karena bayi – bayi itu mati, maka dosa mereka ada pada mereka, maka wajarlah jika kita mengasumsikan bahwa penyebabnya juga ada. Akhirnya, Alkitab juga mengajarkan bahwa semua manusia di bawah hukuman dan membutuhkan penebusan yang ada di dalam Yesus Kristus.[1]

Manusia berada di bawah hukum dosa adalah konskwensi pelanggaran terhadap kehendak Allah,  sebagai bagian yang tidak dapat diselesaikan melalui usaha manusia. Peradaban manusia memunculkan berbagai tindak kejahatan yang bersumber pada potensi dosa yang telah dimiliki oleh semua orang. Hal ini tidak berarti bahwa manusia ditujukan untuk memenuhi keinginan dosa dari sejak penciptaan, melainkan natur manusia setelah Adam telah memiliki ikatan dengan sifat – sifat dosa.  

2.       Tabiat Yang Diwariskan

Roma 7: 24 Sebagaimana dijelaskan oleh Donal Guhtrie, “Paulus tidak mengatakan  bahwa  kerangka  badaninya   adalah jahat ; ia tidak memaksudkan penghinaan tubuh manusia yang  diciptakan Allah itu. Tapi yang dimaksudkannya adalah “warisan tabiat manusiawi yang ada di bawah hukum dosa dan maut yang dimilikinya sama dengan semua anak Adam (Bruce).[2]

Tubuh sebagai wujud materi bukanlah awal atau sumber dari dosa, sekalipun  bersentuhan secara langsung dengan berbagai tindak kejahatan. Dosa dihasilkan dan dirancang oleh keinginan dan bukan oleh tubuh sehingga dalam hal ini sifat harus dibedakan dengan wujud. Dosa selalu bersifat rohani sedangkan tubuh adalah wujud secara materi. Sifat rohani adalah kekuatan yang menggerakkan materi untuk mewujudkan keinginan dalam sebuah tindakan yang nyata, sehingga baik jiwa maupun tubuh bertindak jahat.

Sebelum kejatuhan, Allah dan Adam bersekutu satu sama lain; setelah kejatuhan manusia, persekutuan itu putus. Nenek moyang kita yang pertama mulai menyadari ketidaksenangan Allah terhadap mereka; mereka telah melanggar perintah Allah yang tegas untuk tidak makan buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, dan oleh karena itu mereka bersalah. Mereka sadar bahwa mereka telah kehilangan kedudukan mereka di hadapan Allah dan bahwa mereka kini di bawah penghukuman-Nya.[3]

Pelanggaran terhadap perintah Allah adalah hasil pemikiran manusia yang mengarahkan fokus tubuh untuk melakukan dosa. Akibat yang ditimbulkannya adalah bahwa tubuh  berada pada posisi sebagai pelaku tetapi kesadaran keberdosaan itu tentulah berasal  dari pikiran. Sekalipun pada akhirnya tubuh harus menanggung hukuman atas dosa, namun prakarsa untuk berdosa  berasal adalah dari akal budi manusia.

3.       Dampak Tabiat Manusia

Kejatuhan manusia juga memberikan gambaran perbedaan kualitas sebelum dan sesudah manusia jatuh ke dalam dosa. Bahwa penciptaan terhadap manusia berada dalam kekudusan dan kesempurnaan tanpa adanya kesalahan di dalamnya. Semuanya ditujukan kepada rancangan Tuhan untuk kebaikan sehingga,  penciptaan bukanlah  sumber atau penyebab kejatuhan. Ketika Adam dan Hawa baru saja  diciptakan, mereka bukan saja tidak bersalah, tetapi mereka juga kudus. Mereka tidak memiliki sifat yang berdosa. Kini mereka merasa malu, hina, dan tercemar. Ada sesuatu yang harus mereka sembunyikan. Mereka telanjang dan tidak dapat tampil di hadapan Allah dalam keadaan yang telah keji. Kesadaran akan ketidaklayakan mereka itulah yang menyebabkan mereka membuat pakaian dari daun ara (Kejadian 3: 7). Mereka tidak hanya malu tampil di hadapan Allah dalam keadaan yang baru itu, tetapi mereka juga malu untuk berhadapan satu dengan yang lain. Secara moral mereka telah hancur . Allah telah berfirman kepada Adam mengenai pohon yang terlarang itu. “Pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati” (Kejadian 2: 17). Kematian ini pertama – tama merupakan kematian rohani, yaitu terpisahnya jiwa manusia dari Allah. Kematian rohani ini tidak hanya berarti bahwa kita tidak mampu menyenangkan hati Allah, tetapi juga bahwa sifat mereka tercemar. Demikianlah “dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang” (Roma 5: 12). Kenyataan bahwa dosa masuk ke dalam dunia melalui Adam berarti bahwa dosa mulai hadir di dalam umat manusia dan manusia mulai berbuat dosa, perangai manusia menjadi rusak dan manusia mulai bersalah. Manusia menjadi orang berdosa (Roma 5: 19). Pelanggaran yang sesungguhnya bersumber pada sifat manusia yang berdosa.[4]  

Sadar atau tidak sadar dosa adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan pilihan manusia dan tanggung jawab terhadap akibat yang ditimbulkannya berada pada manusia itu sendiri. Sehingga maut yang muncul sebagai hukuman atas dosa adalah bagian yang harus diterima sebagai bagian dari pertanggungan jawaban secara spritual dan moralitas. Manusia secara utuh akan dijatuhi hukuman yang menimpa manusia secara utuh baik, roh, jiwa dan tubuh tanpa terkecuali. Dan menimbulkan kerusakan terhadap hubungan manusia dengan Tuhan, yang menyebar ke segala aspek kehidupan. Dampak dari kejatuhan kedalam dosa adalah kematian manusia sebagai hasil akhir  dalam kebinasaan. Bukan hanya itu semua manusia yang mati di dalam dosa  memiliki  kesamaan  sebagai  keturunan yang berdosa. Artinya dosa setiap orang dalam bentuk ukuran dan bentuk  apapun  akan  ditetapkan  sama  dengan  dosa  Adam  yaitu  pelanggaran  dan ketidaktaatan dan hukumannya adalah kematian secara rohani dan moral dalam tubuh.

Ketika mengatakan bahwa sebagai akibat ketidaktaatan manusia “pasti akan mati” (Kejadian 2: 17). Allah memaksudkan tubuh mereka juga. Allah berfirman kepada Adam, sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” (Kejadian 3: 19). Kata – kata Paulus, “Sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam” (I Korintus 15: 22), terutama menunjuk kepada kematian jasmaniah. Ketika menulis bahwa”...dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang dan oleh dosa itu juga maut (Roma 5: 12). Paulus mencantumkan konsepsi kematian yang menyeluruh: fisik, rohani, dan abadi. Selanjutnya, karena kebangkitan tubuh merupakan bagian dari penebusan (Roma 8: 23), kita tidak dapat menyimpulkan bahwa kematian jasmaniah merupakan akibat dari dosa Adam.[5]

Kematian sebagai hukuman atas dosa yang akan dialami oleh setiap orang dimulai dari kematian moral sebagai pilihan manusia dan bukan karena tubuh manusia. Karena sumber pemberontakan manusia berada di dalam pilihan – pilihan yang berdosa yang telah ditetapkannya berdasarkan pertimbangan moral. Sebagaimana dijelaskan oleh Henry C. Tiessen, “Kematian moral merupakan kematian hidup Allah di dalam diri mereka dan tabiat mereka menjadi penuh dosa; kematian rohani berarti bahwa hubungan mereka dengan Allah sebelumnya sudah hancur. Sejak dosa Adam dan Hawa, semua orang yang lahir memasuki dunia  dengan  tabiat  yang  berdosa  (Roma 8:5-8).  Pencemaran  tabiat  manusia meliputi keinginan bawaan untuk mengikuti kemauannya sendiri tanpa memperhatikan Allah atau sesama, dan pencemaran ini diteruskan kepada semua orang (Kejadian 5:3; Kejadian 6:5; 8:21; Efesus 2:3; lihat Roma 3:10-18).[6]

Kematian moralitas sebagai tabiat yang berdosa menyebabkan kecendrungan manusia untuk mengikuti keiginan memenuhi tuntutan kematian dan tidak lagi dipengaruhi oleh pertimbangan yang membawa kepada kehidupan. Manusia telah digerakkan untuk memenuhi hasrat  yang berdosa dalam segala tindakan dan perbuatannya. (Bersambung)
(Dikutip dari Thesis : Tinjauan Teologis Terhadap Warisan Tabiat Manusia Di Bawah Hukum Dosa Dan Penyelesaiannya Di Dalam Karya Kristus Berdasarkan Roma 7: 26) Penulis: Napoleon Manalu
 

 



[1] Op. Cit. Louis Berkhof, hal. 125 - 126
[2] Ibid, Donald Guthrie, hal. 437
[3] Henry C. Tiessen, Teologi Sistematika, (Malang: Gandum Mas, 1997), hal. 279 - 280
[4] Ibid, Henry C. Tiessen, hal. 280
[5] Ibid, Henry C. Tiessen, hal. 281
[6]
The Full Life Study Bible. Life Publishers International, Teks Penuntun edisi Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gandum Mas, 1992. Hal. 1993 - 1994
 

Senin, 17 Maret 2014


Hidup Berkelimpahan

Oleh: Napoleon Manalu

 

 

Pendahuluan

Tuhan Allah menempatkan manusia di taman Eden agar mereka dapat menikmati segala berkat – berkat yang disediakan. Tetapi di dalam langkah selanjutnya Allah menetapkan peraturan – peraturan yang harus dipatuhi dan tidak dapat dilanggar. Konskwensi logis dari ketetapan Allah adalah ketaatan akan menjamin bahwa berkat – berkat yang disediakan akan tetap terpelihara. Sebaliknya setiap pelanggaran dan ketidaktaatan akan mendapat ganjaran yang yang memberikan hukuman yang setimpal yang akan menghilangkan setiap potensi dan kesempatan di dalam pemeliharaan Allah.

Alkitab secara langsung mengemukakan hubungan antara Tuhan dan manusia yang setiap waktu dapat mengalami perubahan. Allah memiliki ketetapan dan jaminan yang memberi kepastian hidup tetapi manusia memiliki kecendrungan untuk melarikan diri dari tanggung jawab. Kasus – kasus yang terjadi di dalam sejarah kemanusiaan dalam Perjanjian Lama menunjukkan bahwa manusia tidak dapat memahami rencana Allah. Konflik yang menimbulkan polemik di dalam peradaban antara Tuhan dan manusia sering menimbulkan ancaman terhadap kehidupan secara universal. Seperti yang terjadi pada zaman Nuh dimana Allah bermaksud melenyapkan segala mahluk hidup. Tetapi Allah menemukan Nuh sebagai orang benar yang berkenan kepadaNya, maka kelangsungan kemanusiaan masih tetap berlanjut. Allah adalah Tuhan yang mengasihi manusia tetapi sekali – kali tidaklah Ia tidak akan membiarkan dosa untuk menggagalkan rancanganNya.

 

 

1.      Dosa Sebagai Tantangan Utama

Dosa adalah pemicu konflik yang merusak segala sesuatu yang menghalangi manusia untuk dapat mencapai sasaran yang ditetapkan oleh Allah. Akibat dan dampak yang ditimbulkan oleh dosa bukan saja menimbulkan kematian melainkan juga konsep kehidupan mengalami kemerosotan. Manusia yang pada awal mulanya tidak perlu bersusah payah untuk mencari makanan karena segala sesuatu telah tersedia, setelah kejatuhan justru tanah menjadi terkutuk dan susah payah dan kelelahan adalah bagian yang tidak terpisahkan agar manusia dapat mempertahankan kehidupannya.

Penyebab dosa tidak muncul dari sebuah natur yang telah ditentukan untuk dilakukan atau sengaja diciptakan untuk menjerumuskan manusia. Melainkan adalah sebuah pilihan yang mengagungkan keinginan manusia pada hal – hal yang bersifat sementara. Jika manusia tidak terjebak pada sifat – sifat yang menuntut demi kepentingan diri sendiri, maka ia akan mengalami keleluasaan di dalam memahami kehendak Allah sesuai dengan rancangan dalam kekekalan-Nya. Allah sejak awal tidak menentukan agar ciptaan-Nya dibinasakan atau mengalami penderitaan, tetapi manusia mahluk mulia memilih jalan hidup yang berbeda. Sejak saat itulah dominasi manusia terhadap alam dan seisinya berakhir dan hidup yang dirancang Tuhan adalah suatu kemustahilan. Maka manusia menjadi pengembara di bumi dengan berbagai kesulitan dan penderitaan sampai kemudian ia pun akan berakhir pada yang sangat singkat.

Allah tidak mengubah rencana-Nya semula untuk menjadikan manusia menjadi penguasa atas alam semesta dengan maksud pengelolaan dan pemeliharaan atas bumi. Sekalipun demikian hukuman tetap dijatuhkan terhadap pelanggaran manusia namun kasih karunia yang dimiliki tetap ditawarkan dengan mengulang dan memulai kembali melalui orang – orang yang berkenan kepada-Nya.

Berkat yang dijanjikan oleh Tuhan berjalan lurus dan bersifat kekal baik dalam konteks masa kini maupun yang akan datang. Permasalahannya adalah terletak pada tanggung jawab manusia untuk menerima kepercayaan sesuai dengan janji yang diberikan oleh Tuhan. Sehingga penggenapan dan realisasi kehidupan yang telah dirancang di dalam kesempurnaan menemukan wujud dalam kapasitas sebagai manusia rohani yang hidup di dalam dunia dan bukan duniawi (kedagingan).

Menata ulang kembali makna kemanusiaan adalah proses yang harus dilalui agar gambaran tentang sebuah kehidupan yang ideal tidak dibenturkan pada kepentingan manusia semata – mata melainkan pada tujuan Allah. Setiap orang percaya secara langsung terhisap di dalam pembentukan wujud manusia baru melalui kelahiran baru di dalam Roh Kudus. Sehingga segala rencana dan tujuan Allah dan berkat – berkat baik secara jasmani dan rohani dimanfaatkan sebesar – besarnya bagi maksud pelebaran Kerajaan Sorga. Berkat Allah memiliki relasi secara khusus dengan pola dan gaya hidup orang – orang percaya sampai pada tujuan akhir selama mereka hidup di dalam dunia.

2.      Perjanjian Berkat Allah dalam PL

            Tujuan Allah menciptakan manusia adalah bahwa manusia ditakdirkan untuk berkuasa atas semua ciptaan dan menjadi raja di bumi.[1] Ada empat kovenan tanpa syarat yang membentuk dasar dari teologi PL dimana Allah akan menebus dan memberkati umat-Nya. Dalam kovenan Abraham (Kej. 12:-3) “tanah, benih, berkat”. Kovenan Palestina (Ul. 30:1-10) “tanah”. Kovenan Davidik (2 Sam. 7:12-16) “benih”. Kovenan Baru (Yer.31:31-34) “berkat”. Kovenan-kovenan tanpa syarat dari PL secara khusus menjelaskan natur dan masa depan kerajaan milenial. Melalui kovenan Abrahamik, Allah mulai berhubungan dengan bangsa Israel, dengan tujuan untuk membawa bangsa ini ke suatu tempat berkat rohani di mana bangsa ini akan menjadi alat Allah untuk memberkati bangsa-bangsa di dunia. Israel diberikan Kovenan Musa yang bersyarat sebagai demonstrasi kekudusan Allah. Mereka yang ingin masuk dalam persekutuan dengan Allah yang kudus, maka mereka juga harus memiliki standar kekudusan-Nya. Allah berhubungan dengan bangsa Israel dan non-Israel adalah untuk membawa mereka semua ke tempat berkat. Tema yang berulang kali dinyatakan dalam PL adalah kesinambungan tema tentang dosa umat manusia dan anugrah Allah untuk memulihkan manusia yang berdosa.

            Allah menjanjikan berkat, keturunan dan tanah kepada Abraham, Ishak dan Yakub. Janji – janji itu dapat disertai sumpah, dihubungkan dengan perjanjian atau berdiri sendiri sebagai firman Allah; janji – janji itu merupakan benang merah dalam cerita leluhur. Memberikan janji, menjanjikan sesuatu, berarti memberitahu bahwa sesuatu akan diberi. Pelaksanaan dan pemberiannya yang menentukan baru berlangsung di masa depan, sedangkan pemberitahuannya, yang tak kurang pula menentukan berlangsung di masa kini.[2]

            Pembentukan sebuah generasi baru melalui Abraham, tentu bermuara pada pencapaian dimensi kemanusiaan yang telah ditetapkan Allah sejak semula. Melalui keturunan Abraham diharapkan akan menurunkan orang – orang yang hidup berdasarkan iman dalam kekuasaan yang dapat memberi kesinambungan secara sosial dengan setiap orang di muka bumi. Jadi bukan sebuah generasi atau kelompok ekslusif yang hanya berfokus pada satu genetika melainkan pada keseluruhan umat manusia di muka bumi.

            Allah menetapkan bahwa melalui Abraham akan membuka peluang bagi setiap orang yang percaya untuk menikmati berkat melalui pengenalan akan Tuhan dengan pengertian dan pemahaman yang benar. Sehingga pendelegasian tugas dan tanggung jawab yang telah gagal dikerjakan oleh Adam dan Hawa dipercayakan kepada Abraham dan keturuannya. Di dalam hal ini tetap berlaku peraturan yang sama yang secara adil menuntut ketaatan kepada perintah Allah. Sehingga orang Israel tidak dapat mengabaikan perjanjian Abraham di dalam hal pemilihan mereka sebagai bangsa yang diberkati bagi kehidupan dunia.

Tuhan menciptakan langit dan bumi. Itu sebabnya Ia pun memilikinya. Kesadaran inilah baru timbul di zaman Pembuangan dan tidak menjawab pertanyaan apakah sebabnya tanah Kanaan secara khusus menjadi tanah milik-Nya (Im. 25: 23). Pemilihan tanah itu, sama seperti pemilihan Israel sebagai umat-Nya, tetap merupakan rahasia Allah. Allah memberikan tanah Kanaan ke pada umat-Nya agar mereka diam disitu – dengan hak tinggal – dan mencari nafkah dengan menggunakannya sebagai padam gembalaan, ladang dan kebun. Israel tidak bertuan atas tanah Tuhan sebagai orang asing dan pendatang (Im. 25: 23) dan bertanggung jawab pada-Nya atas tindak – laku di tanah itu. Di situ Allah yang berkuasa dan memberkati engkau dengan berkat dari langit di atas dan dengan berkat samudera raya yang letaknya di bawah, dengan berkat buah dada dan kandungan” (Kej. 49: 25; bnd. Kej. 27: 28). Embun dan hujan serta sumber air, bahkan keturunan dijanjikan kepada mereka.”Kiranya negeri diberkati dengan yang terbaik (Ul. 33: 13 – 17). Berkat ini pun hanya mengalir jika hubungan baik dengan Tuhan dipelihara. “Segala berkat ini akan datang padamu dan menjadi bagianmu, jika engkau mendengarkan suara Allahmu. Diberkatilah engkau di kota dan diberkatilah engkau di ladang...diberkatilah engkau waktu masuk dan diberkatilah engkau pada waktu keluar (Ul. 28: 1 – 6; bnd. Mzm. 3: 9). Bahkan Allah dapat “mengubah kutuk menjadi berkat bagimu, karena Tuhan Allahmu, mengasihi engkau (Ul. 23: 5b).[3]

3.      Perjanjian Berkat dalam PB

Perjanjian berkat lebih mengedepankan sisi rohani tetapi sekali – kali tidak akan mengabaikan kebutuhan manusia secara materi. Sekalipun disadari bahwa masing – masing memiliki peranan yang berbeda namun keseimbangan diantara keduanya akan menopang kehidupan yang lebih baik selama manusia hidup di dalam dunia. Bahwa Allah tidak memaksudkan penciptaan dunia materi sebagai hal yang berdosa karena kalau tidak demikian maka tubuh manusia bersifat dosa. Tetapi yang dimaksudkan adalah motif – motif keinginan dan kehendak yang harus diselaraskan dengan tujuan Allah.

Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat menggunakan tubuh manusia di dalam mewujudkan kelahiran-Nya, di dalam hal ini diperlihatkan bahwa tubuh manusia tidak dapat dihakimi bersifat dosa.Yesus yang dikandung oleh Roh Kudus memberikan perbedaan antara kemanusiaan Allah dengan manusia berdosa yang dikandung dari benih laki – laki. Demikianlah dasar pemikiran bagi pandangan dan hakekat dunia materi sebagai berkat yang kudus dari Allah. Kalaupun di dalam realita manusia acapkali menggunakannya untuk tujuan yang berdosa namun hal itu tidak menurunkan nilai esensi materi yang adalah ciptaan Allah sepenuhnya.

Perjanjian Baru tidak mengubah atau meniadakan perjanjian berkat Allah yang telah ditetapkan di dalam Perjanjian Lama bagi bangsa Israel maupun bangsa – bangsa, melainkan menggenapinya di dalam Yesus Kristus.  Tetapi lebih menekankan pada arti panggilan Allah di dalam perjanjian-Nya di dalam mengerjakan keselamatan. Artinya berkat yang dijanjikan Tuhan adalah untuk merealisasikan wujud keselamatan di dalam kehidupan yang baru berdasarkan keinginan Roh dan bukan keinginan daging.

Tuhan Yesus mengatakan tentang kebahagiaan orang – orang yang miskin dihadapan Allah sebagai sesuatu yang mustahil tetapi mungkin bagi Allah. Bahkan secara tegas Ia mengemukakan tentang kebodohan orang – orang yang kaya karena motivasi keinginan mereka yang sempit dan berdosa. Tuhan Yesus menempatkan posisi materi berdasarkan keinginan dan motivasi yang dimiliki jadi bukan hanya sekedar pada faktor kepemilikan atau cara mengusahakan. Bahkan para rasul mengungkapkan teguran terhadap orang – orang mencintai uang yang kemudian menimbulkan konflik di dalam berjemaat.

Disisi lain Yesus memberi pujian terhadap pemberian orang – orang yang miskin yang memberi dengan segenap hati dan jiwa untuk menghormati Tuhan. Dalam hal ini yang dilihat bukan ukuran pemberian melainkan motivasi di dalam memberi. Menempatkan kekayaan dengan sikap hati yang benar adalah dasar dari kelayakan orang – orang percaya untuk menerima berkat yang sesungguhnya.

  1. Hidup Berkelimpahan

Makna hidup yang berkelimpahan dalam Kerajaan Allah, harus dipandang dengan dasar yang benar untuk menyelaraskan antara kekayaan dan kehidupan yang kekal. Kekayaan yang terpisah dari tujuan Allah, adalah sebuah kesia – siaan belaka dan tidak memiliki arti sama sekali. Namun jika kekayaan yang dimaksudkan berjalan sesuai dengan misi dan visi Allah didam dunia secara seimbang tentu akan mendatangkan kesejahteraan bagi umat manusia.

Berkat itu mengalir terus-menerus bagaikan air sungai yang dapat dinikmati, digunakan untuk mengairi tanaman, dan diolah demi kepentingan hidup. Demikian juga berkat mengalir dan diolah menjadi damai sejahtera antarmanusia.[4]

Tujuan Allah bagi kehidupan manusia di bumi adalah untuk menikmati berkat – berkat Allah melalui kelimpahan yang telah terlebih dahulu disediakan dengan menempatkan mereka di Taman Eden. Maksud penempatan yang sesungguhnya tidak bersifat pasif tetapi progresif karena manusia diberi tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga serta berkembang melalui keturunan untuk memenuhi bumi. Jadi keberkatan dan kelimpahan dari Tuhan tidak hanya ditujukan bagi orang – orang tertentu saja melainkan secara global bagi seluruh umat manusia. Dengan jalan dan cara demikian maka tidak ada pemisahan atau mengesampingkan orang – orang yang dianggap tidak layak untuk memperoleh hidup yang layak. Sekalipun pada kenyataan tidak semua orang mengalami tingkatan yang sama di dalam hal memperoleh kekayaan namun itu tidak ditujukan hanya untuk sebagian orang, dan mereka yang telah menerima dituntut keperduliaannya didalam menyalurkan berkat Allah, terhadap sesama manusia. 

Dalam satu bagian, objek iman itu dinyatakan sebagai “Percayalah kepada Allah!” (Mrk. 11: 22). Iman yang demikian itu berarti keyakinan yang utuh dalam kuasa dan kebaikan Allah dan dalam kesedian-Nya untuk memberkati orang – orang yang percaya kepada-Nya.[5]

Orang percaya dapat menerima janji atas kelimpahan dengan terlebih dahulu memperoleh apa yang pernah terhilang yaitu keselamatan. Barulah disusul oleh hal lain yang bersifat kebutuhan yaitu materi dan segala sesuatu yang bersifat menunjang kehidupan sebagai anak – anak Allah. Jadi kelimpahan memiliki keterkaitan dengan maksud penyelamatan Allah di dalam kehidupan manusia. Keselamatan tidak hanya dilihat dari sudut pandang yang akan datang tetapi juga dalam konteks masa kini, oleh penyertaan Allah orang – orang percaya mengerjakan tanggung jawab bagi Kerajaan Allah.

Kerajaan Allah adalah suatu kepercayaan kehidupan masa kini  secara bertanggung jawab sebagi anak – anak Allah. Janji bahwa mereka yang meminta akan menerima dan mereka yang mencari akan mendapatkan (Mat. 7: 7), patut dipahami dalam konteks ini. “Hal yang dicari adalah Kerajaan Allah, yang setelah ditemukan adalah pemenuhan dari segala kebutuhan (Luk. 12: 31).[6]

Tujuan utama dari ucapan bahagia itu adalah untuk mengajarkan suatu berkat kebahagiaan masa kini, dan bukan menjanjikan berkat dalam masa penggenapan kelak. Penghiburan bagi mereka yang berdukacita karena kepapaan rohani. Bersifat masa kini dan yang akan datang, sebagai masa lalunya kepuasan bagi yang lapar (Mat 5: 4, 6). Anugerah Kerajaan, yang disebutkan dua kali barangkali termasuk masa kini, maupun yang akan datang. Ucapan Bahagia itu menjelaskan keselamatan eskatologis maupun kebahagiaan masa kini.[7]

Adalah lebih baik memiliki pandangan konstruktif terhadap harta, jabatan dan kekuasaan secara proporsional dan profesional karena tidak dapat dipungkiri selama manusia hidup di dalam dunia akan selalu berurusan dengan materi. Artinya perwujudan dari berkat yang sesungguhnya didalam realita akan memuat hal – hal yang bersifat materi. Tetapi perbedaannya adalah bahwa segala kepemilikan terhadap semuanya itu tidak berasal dari tujuan yang merusak (destruktif). Segala potensi yang dimiliki oleh manusia sudah barang tentu ditujukan untuk kemakmuran dan kemajuan kehidupan yang lebih baik dan bermartabat. 

Semua hal itu merupakan sebab akibat atas proses yang secara alami dapat terjadi bagi mereka yang melakukan tugas secara maksimal dan bertanggung jawab. Artinya semua orang berhak memperoleh kesempatan dan peluang yang sama untuk memperoleh keberhasilan hidup. Sekalipun hal itu tidak menjamin pencapaian keselamatan yang terdapat di dalam Yesus Kristus. Usaha yang maksimal dengan penuh kesungguhan pada akhirnya akan mencapai taraf hidup yang lebih baik secara materi. Acapkali kali hal ini luput dari perhatian orang – orang Kristen yang kadang – kadang beranggapan bahwa kekayaan duniawi adalah kemustahilan dan kekayaan sorgawi adalah sebuah kepastian. Bisa saja pemikiran ini diakibatkan oleh teologi penderitaan yang lebih mendominasi kekristenan pada abad – abad pertama SM. Kadangkala prinsip Kerajaan Allah yang dijelaskan para pengkotbah tidak memiliki relevansi terhadap kehidupan nyata dan orang percaya hanya sebagai pelengkap dan objek penderita. Adalah lebih baik memberikan pemahaman secara wajar terhadap segala hal terkecuali keselamatan yang diberikan sebagai kasih karunia dan bukan usaha manusia. Setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik sehingga tidak dapat dipisahkan dari konteks membangun manusia seutuhnya dalam rambu – rambu dan koridor secara  normatif. Yang membedakan keberhasilan orang percaya adalah semuanya dibangun dalam kerangka penggenapan janji Allah dan penggenapannya baik dalam kehidupan masa kini dan yang akan datang. Sedangkan bagi orang duniawi semua hal bisa ditujukan untuk keinginan dan kepentingan sendiri. Terlepas dari motivasi yang terkandung dibalik keinginan menjadi kaya, hal itu bukanlah sebuah konsep belaka melainkan suatu kenyataan yang dapat terjadi bagi setiap orang yang mau bekerja dan berusaha sungguh – sungguh.

1.      Pola Kehidupan Kerajaan Allah

Yesaya 35 menggambarkan dengan hidup pemugaran alam pada periode tersebut. Berkat – berkat luar biasa ini akan terjadi sesudah kedatangan Kristus, dan merupakan berkat kerajaan di bumi. Pada masa itu “Tuhan akan menjadi Raja atas seluruh bumi” (Zakharia 14: 9). [8]

Kerajaan Yesus di bumi dalam konteks masa kin tentu diarahkan secara khusus melalu Gereja sebagai tubuh Kristus. Merealisasikan tujuan Allah dan mencapai sasaran keselamatan bagi jiwa tentu bukan hanya sebagai upaya eskatologi semata – mata rohani. Melainkan memberi kontribusi bagi kebutuhan pergumulan selama hidup di dunia, tentu saja unsur materi memiliki peranan dan fungsi untuk membangun manusia seutuhnya dan tidak terlepas dari konteks sosial.

a.       Hidup Masa Kini

Jika kita bertanya tentang isi dari alam baru yang penuh berkat ini, kita mendapati bahwa basileaia, tidak hanya berarti pemerintahan Allah yang dinamis dan kenyataan tentang keselamatan, melainkan juga dipakai untuk menunjukkan anugerah hidup dalam keselamatan. Inilah unsur lain dalam ajaran Yesus. Kerajaan Allah berlaku sebagai satu istilah yang lebih luas bagi semua yang termasuk dalam keselamatan mesias...jika Kerajaan Allah adalah pemberian hidup yang dianugerahkan kepada umat-Nya pada waktu Ia menyatakan pemerintahan di dalam kemuliaan eskatologis, dan jika Kerajaan Allah adalah juga kekuasaan Allah menerobos sejarah sebelum penggenapan eskatologis, maka tentunya kita boleh menerima pemerintahan Allah sekarang untuk mendatangkan berkat awal kepada umat-Nya. Inilah fakta yang kita temukan. Kerajaan itu bukan hanya suatu pemberian eskatologis dari Masa Yang Akan Datang, melainkan juga satu pemberian yang diterima dalam aenon (masa, zaman) lama.[9]

Merepresentasikan Kerajaan Allah didalam dunia tentu tidak dapat mengabaikan aspek kekinian dalam kerangka manusia baru yang memiliki tanggung jawab dalam dimensi kekekalan. Segala sesuatu yang dianugerahkan Allah selama manusia hidup di dunia memiliki keterkaitan dengan aspek soteriologi dan eskatologi. Hal inilah yang tidak disadari oleh manusia di akhir zaman dan faktor kejatuhan manusia pertama. Sehingga kepercayaan yang diberikan oleh Tuhan untuk berkuasa dibumi tidak malah diselewengkan untuk kepentingan diri sendiri yang lebih didorong oleh keinginan daging.

Karya Kristus memampukan orang percaya untuk membangun hidup yang tidak rapuh terhadap aspek material yang bersifat sementara tetapi pada motivasi yang digerakkan oleh Roh Kudus. Sehingga di dalam mencapai tujuan hidup, orang percaya tidak lagi menempatkan kebahagiaan pada hal – hal yang terbatas tetapi pada pencapaian maksud Allah. Melalui Roh Kudus yang mendiami orang percaya, potensi keberhasilan lebih cenderung diarahkan pada kesempurnaan hidup di dalam Tuhan. Jadi bukan sekedar untuk memiliki banyak harta, menjadi penguasa atau menikmati berbagai – bagai kemudahan. Tetapi lebih merupakan faktor pendukung untuk membangun manusia yang utuh dan mulia sebagai gambar dan rupa Allah.

b.      Hidup pada Masa yang Akan Datang

Matius 25:14 "Sebab hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang yang mau bepergian ke luar negeri, yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka.
Perumpamaan tentang talenta disusun dalam kerangka kerja pengajaran Yesus tentang kedatangan-Nya kembali. Sama seperti gadis-gadis pengiring pengantin itu menunggu, demikian juga hamba-hamba yang menerima uang tuannya itu bekerja. Perumpamaan ini mengajarkan bahwa selama Yesus tidak ada, pengikut-pengikut-Nya diharapkan rajin bekerja dengan karunia-karunia yang Dia percayakan kepada mereka. Pengikut-pengikut-Nya bertanggung jawab kepada-Nya pada waktu Dia datang kembali. Karena perkataan-perkataan seperti "turutlah dalam kebahagiaan tuanmu" dan "campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi," Yesus mengisyaratkan bahwa perkataan ini bukan semata-mata perkataan dari tuan itu. Kata-kata ini adalah perkataan-Nya sendiri yang menunjuk kepada hari penghakiman.
Dasar pemikiran bagi kehidupan yang akan datang sangatlah ditentukan pada masa kini, dimana orang – orang yang diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk menjalankan tugas sesuai dengan kemampuan masing – masing. Bahwa fakta perumpaan tentang talenta dapat disaksikan dalam realita yang sesungguhnya. Perbedaan antara si miskin dan kaya bukanlah sebuah rahasia demikian juga orang yang berhasil dan sukses dengan mereka yang gagal. Bukankah semuanya ditentukan oleh kemauan untuk melipatgandakan apa yang dimiliki dengan usaha dan upaya yang sungguh – sungguh. Sekalipun keberhasilan orang percaya tidak ditentukan oleh daya dan upaya manusia tetapi hal itu menunjukkan kemauan untuk maju untuk melakukan kehendak Tuhan. Keberhasilan orang percaya selama hidup sangat ditentukan oleh kemauan untuk melakukan perintah Tuhan, jumlah bukanlah ukuran melainkan kemampuan untuk melipatgandakan potensi yang dipercayakan dalam diri setiap orang. Hal inilah yang menjadi penilaian pada masa yang akan datang di dalam penghakiman dimana setiap orang akan dituntut pertanggungan jawab atas setiap tindakan dan pekerjaan yang dilakukan. Hidup masa kini dan yang akan datang memiliki keterkaitan dan tidak boleh diabaikan antara satu dengan yang lain. Jika orang percaya memiliki pengharapan yang pasti pada masa yang akan datang tentu harus diperlihatkan dalam sikap dan perbuatan sehari – hari. Menantikan kehidupan kekal sama pentingnya dengan melakukan pekerjaan yang terbaik dengan sikap yang dipenuhi keinginan untuk maju dan berhasil di dalam segala hal. 

c.       Relevansi Kelimpahan dalam Bidang Sosial

Ketika seseorang menjadi kaya dan berkelimpahan dalam segala hal, tentu merupakan sebuah fenomena yang berbanding lurus dengan dampak yang diberikan terhadap orang – orang disekitarnya. Keberhasilan tidak dapat disembunyikan hanya bagi diri sendiri demikian juga untuk mencapainya juga tetap membutuhkan peranan orang lain. Tidak ada rumus yang mudah untuk memperoleh kekayaan atau kekuasaan semuanya akan diperhadapkan dengan berbagai tantangan baik yang sifatnya membangun dan juga merusak. Bagi mereka yang sudah menempati posisi – posisi strategis dalam strata sosial tentu untuk memperoleh fasilitas adalah sebuah hal yang lumrah. Namun untuk sampai kepada tahap seperti itu tentu saja harus melalui perjalanan yang berat dan panjang. Ukuran keberhasilan tidak dapat dilihat dari kemudahan dan kemampuan mereka untuk meraih berbagai kemudahan tetapi jalan yang mereka tempuh sebelum sampai pada taraf dan tingkatan hidup yang luar biasa. Sekalipun demikian mereka tetap memiliki tanggung jawab terhadap kehidupan, karena setiap orang yang dipercayakan lebih akan dituntut berbuat hal yang sama. Dunia ini membutuhkan orang – orang yang dapat membangun sehingga berkat Tuhan dapat dinikmati lebih banyak orang. Karena tidak semata – mata Tuhan memberikan kepercayaan untuk kemudian menyembunyikannya atau menggunakannya bagi diri sendiri melainkan memanfaatkan sebesar – besarnya bagi kehidupan umat manusia. Sehingga kalau dikaji lebih mendalam Kerajaan Allah membutuhkan orang – orang yang berpikiran dan bertindak maju untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan demikianlah orang – orang dapat melihat bahwa manifestasi Kerajaan Allah yang membawa damai sejahtera tidak mustahil dapat terjadi di dalam dunia pada masa kini. 

 

 



[1] Erich Sauer, The King of The Earth (Grand Rapids: Eerdmans, 1962).
[2] Cristoph Bart, Teologi Perjanjian Lama 1, ( Jakarta: BPK-GM, 2012), hal. 101 - 102
[3] Cristoph Barth, Teologi Perjanjian Lama 2 ( Jakarta: BPK – GM, 2012), hal. 31-34
[4] Christoph Bart, Teologi Perjanjian Lama 1, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), hal. 47
[5]George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru 1, (Bandung: Kalam Hidup, 2013),  hal. 361 - 352
[6] Ibid, George Ladd, hal. 94
[7] Ibid, George Ladd, hal. 95
 
[8] Henry C. Thiessen, Teologi Sistematika, (Malang: Gandum Mas, 1997), hal. 568
[9] George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru Jilid I, (Bandung: Kalam Hidup, 2013), hal. 93

Rabu, 12 Maret 2014


PERANAN ROH KUDUS DALAM KONTEKS KESELAMATAN

 

Pendahuluan

Peranan Roh dalam kehidupan manusia memiliki latar belakang dari kegagalan  manusia melakukan perintah Allah. Manusia pertama yaitu Adam dan Hawa pada awalnya diciptakan serupa dan segambar dengan Allah, dan mereka diberikan Roh kehidupan sehingga manusia itu hidup. Ketika manusia gagal untuk menuruti kehendak Allah maka saat itu juga ia harus menerima konskwensi logis dari pelanggaran terhadap perjanjian Allah. Artinya bahwa manusia bukan hanya sekedar kehilangan berkat ketaatan yaitu berkuasa atas bumi dan seluruh isinya tetapi juga kehilangan kesempatan di dalam kehidupan kekal. Keselamamatan yang terhilang itu mencakup hal – hal yang bersifat fisik dan roh. Itulah sebabya manusia kehilangan kendali atas kehidupan dan cenderung menuruti keinginannya yang berdosa di dalam mencapai tujuan hidupnya (Kej. 1: 27;  2: 7; 2: 17; 3: 17, Kej. 6: 3,5 ). Peranan Roh Kudus dapat dilihat dari hakikat Roh dan manifestasiNya untuk mewujudkan keselamatan, atau Allah memberikan  kembali RohNya di dalam kehidupan manusia. Sekalipun Roh Kudus di dalam kehidupan manusia pertama dan kemudian setelah kejatuhan, tidak lagi mengidentifikasikasi kemanusiaan yang sama. Karena lebih menekankan pada muatan penyelamatan manusia dari dosa, berbeda dengan sebelumnya manusia hanya dituntut untuk taat pada perintah Allah tanpa adanya natur dosa yang membebani. Kemanusiaan Adam diciptakan dan dibentuk dalam kesempurnaan,  berbeda dengan manusia sesudahnya yang sudah dikandung dan dilahirkan didalam dosa (Kej. 1:31; ). Di dalam memberi pengertian tentang peranan Roh Kudus maka selayaknya dipandang dalam persfektif penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus.

 

A.    Penyertaaan Allah bagi Orang Percaya

Roh Kudus di dalam kehidupan manusia adalah sehakekat Roh Allah, Roh Kristus, Roh, Roh Kudus yang menekankan pada aktivasi  Roh yang memberikan kehidupan. Roh Kudus atau parakletos sebagai penolong mengidentifikasi pribadi Roh Kudus atau suatu pribadi yang lain dari Allah yang berfungsi sebagai penolong bagi orang percaya. Penolong atau pribadi yang lain memberikan pemisahan yang jelas antara Roh Kudus dalam status keAllahanNya dengan roh manusia, serta jiwa dan seluruh aspek yang terkandung di dalamnya sebagai mahluk ciptaan.  Roh secara absolut yang menunjuk kepada Allah yang adalah Roh, baik di dalam Yesus ( Allah yang menjelma menjadi manusia) maupun di dalam kehidupan orang percaya. Jadi Sekalipun Ia berada di dalam diri manusia tetapi tidak identik dengan manusia itu sendiri atau dengan kata lain Allah bukanlah manusia demikian juga sebaliknya. Tetapi hal itu tidaklah mempengaruhi hakekat Allah di dalam Roh Kudus sekalipun dimaksudkan untuk menuntun dan memimpin manusia yang masih memiliki kehendak dan keinginan. Roh Kudus tidak mengambil alih atau mengendalikan dengan cara memaksa, sehingga ia dapat dipadamkan didukakan atau bahkan dihujat. Roh Kudus bekerjasama dan dapat mengendalikan sepenuhnya jika orang percaya memiliki ketaatan dan penyerahan secara total kepada kehendak Allah. Jadi Roh Kudus adalah suatu pribadi yang lain dari Allah yang berfungsi sebagai penolong yang mendiami kehidupan manusia untuk melakukan kehendak Allah. Di dalam hal inilah penyertaan Allah di dalam kehidupan orang oercaya digenapi oleh Roh Kudus (Matius 28: 20).

B.     Baptisan Roh Kudus

Roh Kudus sebagai wujud dari penyertaan Allah didalam kehidupan orang percaya dan pemeliharaannya terhadap dunia dan berperan sebagai penolong yang memampukan manusia untuk melakukan kehendakNya (band. Matius 28: 20b). Sebagai jaminan  agar keselamatan yang diperoleh di dalam Yesus Kristus tetap terpelihara. Mengapa hal ini terjadi adalah disebabkan bahwa berdiamnya kembali Roh Kudus di dalam kehidupan manusia memiliki landasan untuk menyatakan karya keselamatan yang telah diperoleh melalui iman percaya kepada Yesus Kristus. Itulah sebabnya orang percaya sekalipun sudah menerima baptisan air sebagai tanda pertobatan tetapi untuk mencapai kehidupan Roh hanya akan mungkin oleh Baptisan Roh Kudus (Mat. 3: 11). Bahkan Yesus yang adalah Allah yang menjelma menjadi manusia diurapi oleh Roh Kudus (Mat. 3:17). Apakah ketuhanan Kristus berbeda kalau seandainya tidak dipenuhi oleh Roh Kudus? Tujuannya bukan untuk membandingkan melainkan kehadiran Roh Kudus adalah bagian dari perananNya sebagai penolong di dalam Tuhan yang menjadi manusia.   Didalam menanggapi hal ini, orang Kristen memiliki pandangan yang berbeda – beda. Alkitab menegaskan manusia diselamatkan oleh iman, sehingga kepercayaan pada Yesus, dijadikan sebagai tolok ukur apakah seseorang telah selamat atau tidak selamat. Untuk diselamatkan dan memperoleh hidup yang kekal tidak ada jalan lain kecuali dengan percaya pada Yesus dengan bukti telah dibaptiskan dengan air di dalam nama Tuhan Yesus. Agar keselamatan yang telah diberikan dapat tetap terjaga dan terpelihara sempurna sampai kepada kekekalan Roh Kudus hadir untuk menolong orang percaya.  Persoalannya adalah jika hanya pada tahap percaya Alkitab menegaskan bahwa Iblis pun percaya dan mereka gemetar (Yak. 2: 19). Tetapi Baptisan Roh Kudus bukanlah sebuah tanda pertobatan atau mengidentifikasi seseorang telah diselamatkan melainkan memampukan atau memberi kekuatan atau kuasa bagi orang percaya mencapai tujuan dan rancangan Allah sejak kekekalan dan sampai kekekalan.

C.    Dipenuhi Oleh Roh Kudus

Kepenuhan Roh Kudus yang terjadi di dalam kehidupan orang percaya ditandai dengan karunia Roh Kudus dan Buah Roh Kudus. Kedua hal ini berkaitan secara langsung dengan proses kedewasaan orang percaya untuk mencapai ketaatan penuh kepada kehendak Allah. Yaitu apakah seseorang telah menjadi pelaku Firman Tuhan dan hidup dalam iman serta dan hidup yang dipenuhi dengan kuasa melalui tanda – tanda heran dan mujizat yang dikerjakan oleh Roh Kudus (band. Mark. 16: 17 – 18).  Tidak dimaksudkan sebagai tanda apakah seseorang sudah diselamatkan atau tidak diselamatkan tetapi kepenuhan Roh Kudus adalah proses lanjutan dimana orang – orang yang lahir baru dibentuk untuk memiliki jati diri yang menunjukkan identitas sebagai anak – anak Allah. Di dalam kepenuhan Roh Kudus orang percaya mengalami kehidupan rohani yang dibuktikan dengan kemauan untuk  menyalibkan keinginan daging dan memikul salib. Karena tujuan dari suatu kepenuhan bukan pada suatu unsur hirarki atau menduduki posisi kekuasaan tertentu untuk menyamai Allah melainkan mencapai keserupaan di dalam Yesus Kristus. Jadi jaminan kepenuhan  Roh Kudus adalah memberikan kemenangan bagi orang percaya  terhadap dosa sehingga  rancangan keselamatan di dalam Yesus Kristus, tidak dapat digagalkan oleh dosa.

D.    Karya Roh Kudus

Karya Roh Kudus tentu saja menimbulkan dinamika kehidupan orang percaya yang akan membedakan antara orang percaya dan tidak percaya bahkan perbandingan pertumbuhan dan kedewasaan seseorang di dalam Kristus. Roh Kudus dalam hakekat kekudusanNya tentu akan membangun sebuah kehidupan yang terpisah dari sifat – sifat duniawi (Roma 15:16; Tit. 3:5). Karena karya Roh Kudus adalah bagian dari keselamatan yang dikerjakan oleh Yesus Kristus maka orang percaya akan digerakkan oleh kehidupan roh (1 Kor. 6: 19).  Mendudukkan dan menempatkan posisi orang percaya sebagai garam dan terang dunia melalui kesaksian dan pemberitaan kabar baik yang menyelamatkan (KPR 1: 8). Orang percaya tidak lagi dikuasai oleh sasaran dan keinginan duniawi tetapi pada tujuan yang kekal sesuai dengan rencana Allah untuk menyelamatkan jiwa – jiwa bagi Kerajaan Allah (1 Ptr1: 12; KPR 4: 31). Manusia di dalam Roh Kudus menunjukkan manifestasi Kerajaan Allah di dalam damai sejahtera dan sukacita oleh penghiburan Roh Kudus (KPR 13:52; Roma 15: 13). Serta hidup kudus dan tidak bercela sampai kedatangan Yesus yang kedua kali untuk menjemput saleh – salehNya. Hidup kudus adalah karakter dan sifat – sifat dari pribadi Allah yang sempurna dan tanpa dosa. Karya Roh Kudus merupakan jaminan bahwa orang – orang percaya dapat mencapai standard yang ditetapkan untuk serupa dan segambar dengan  Allah, baik di dalam kehidupan masa kini dan masa yang akan datang di dalam kekekalan.