Hidup Berkelimpahan
Oleh: Napoleon Manalu
Pendahuluan
Tuhan
Allah menempatkan manusia di taman Eden agar mereka dapat menikmati segala
berkat – berkat yang disediakan. Tetapi di dalam langkah selanjutnya Allah
menetapkan peraturan – peraturan yang harus dipatuhi dan tidak dapat dilanggar.
Konskwensi logis dari ketetapan Allah adalah ketaatan akan menjamin bahwa
berkat – berkat yang disediakan akan tetap terpelihara. Sebaliknya setiap
pelanggaran dan ketidaktaatan akan mendapat ganjaran yang yang memberikan
hukuman yang setimpal yang akan menghilangkan setiap potensi dan kesempatan di
dalam pemeliharaan Allah.
Alkitab
secara langsung mengemukakan hubungan antara Tuhan dan manusia yang setiap
waktu dapat mengalami perubahan. Allah memiliki ketetapan dan jaminan yang
memberi kepastian hidup tetapi manusia memiliki kecendrungan untuk melarikan
diri dari tanggung jawab. Kasus – kasus yang terjadi di dalam sejarah
kemanusiaan dalam Perjanjian Lama menunjukkan bahwa manusia tidak dapat memahami
rencana Allah. Konflik yang menimbulkan polemik di dalam peradaban antara Tuhan
dan manusia sering menimbulkan ancaman terhadap kehidupan secara universal.
Seperti yang terjadi pada zaman Nuh dimana Allah bermaksud melenyapkan segala
mahluk hidup. Tetapi Allah menemukan Nuh sebagai orang benar yang berkenan
kepadaNya, maka kelangsungan kemanusiaan masih tetap berlanjut. Allah adalah
Tuhan yang mengasihi manusia tetapi sekali – kali tidaklah Ia tidak akan
membiarkan dosa untuk menggagalkan rancanganNya.
1.
Dosa Sebagai Tantangan Utama
Dosa adalah pemicu konflik yang
merusak segala sesuatu yang menghalangi manusia untuk dapat mencapai sasaran
yang ditetapkan oleh Allah. Akibat dan dampak yang ditimbulkan oleh dosa bukan
saja menimbulkan kematian melainkan juga konsep kehidupan mengalami kemerosotan.
Manusia yang pada awal mulanya tidak perlu bersusah payah untuk mencari makanan
karena segala sesuatu telah tersedia, setelah kejatuhan justru tanah menjadi
terkutuk dan susah payah dan kelelahan adalah bagian yang tidak terpisahkan
agar manusia dapat mempertahankan kehidupannya.
Penyebab dosa tidak muncul dari
sebuah natur yang telah ditentukan untuk dilakukan atau sengaja diciptakan
untuk menjerumuskan manusia. Melainkan adalah sebuah pilihan yang mengagungkan
keinginan manusia pada hal – hal yang bersifat sementara. Jika manusia tidak
terjebak pada sifat – sifat yang menuntut demi kepentingan diri sendiri, maka
ia akan mengalami keleluasaan di dalam memahami kehendak Allah sesuai dengan
rancangan dalam kekekalan-Nya. Allah sejak awal tidak menentukan agar
ciptaan-Nya dibinasakan atau mengalami penderitaan, tetapi manusia mahluk mulia
memilih jalan hidup yang berbeda. Sejak saat itulah dominasi manusia terhadap
alam dan seisinya berakhir dan hidup yang dirancang Tuhan adalah suatu
kemustahilan. Maka manusia menjadi pengembara di bumi dengan berbagai kesulitan
dan penderitaan sampai kemudian ia pun akan berakhir pada yang sangat singkat.
Allah
tidak mengubah rencana-Nya semula untuk menjadikan manusia menjadi penguasa
atas alam semesta dengan maksud pengelolaan dan pemeliharaan atas bumi.
Sekalipun demikian hukuman tetap dijatuhkan terhadap pelanggaran manusia namun
kasih karunia yang dimiliki tetap ditawarkan dengan mengulang dan memulai
kembali melalui orang – orang yang berkenan kepada-Nya.
Berkat yang dijanjikan oleh Tuhan
berjalan lurus dan bersifat kekal baik dalam konteks masa kini maupun yang akan
datang. Permasalahannya adalah terletak pada tanggung jawab manusia untuk
menerima kepercayaan sesuai dengan janji yang diberikan oleh Tuhan. Sehingga
penggenapan dan realisasi kehidupan yang telah dirancang di dalam kesempurnaan
menemukan wujud dalam kapasitas sebagai manusia rohani yang hidup di dalam
dunia dan bukan duniawi (kedagingan).
Menata
ulang kembali makna kemanusiaan adalah proses yang harus dilalui agar gambaran
tentang sebuah kehidupan yang ideal tidak dibenturkan pada kepentingan manusia
semata – mata melainkan pada tujuan Allah. Setiap orang percaya secara langsung
terhisap di dalam pembentukan wujud manusia baru melalui kelahiran baru di
dalam Roh Kudus. Sehingga segala rencana dan tujuan Allah dan berkat – berkat
baik secara jasmani dan rohani dimanfaatkan sebesar – besarnya bagi maksud
pelebaran Kerajaan Sorga. Berkat Allah memiliki relasi secara khusus dengan
pola dan gaya hidup orang – orang percaya sampai pada tujuan akhir selama
mereka hidup di dalam dunia.
2.
Perjanjian Berkat Allah dalam PL
Tujuan
Allah menciptakan manusia adalah bahwa manusia ditakdirkan untuk berkuasa atas
semua ciptaan dan menjadi raja di bumi.[1] Ada empat
kovenan tanpa syarat yang membentuk dasar dari teologi PL dimana Allah akan
menebus dan memberkati umat-Nya. Dalam kovenan Abraham (Kej. 12:-3) “tanah,
benih, berkat”. Kovenan Palestina (Ul. 30:1-10) “tanah”. Kovenan Davidik (2
Sam. 7:12-16) “benih”. Kovenan Baru (Yer.31:31-34) “berkat”. Kovenan-kovenan
tanpa syarat dari PL secara khusus menjelaskan natur dan masa depan kerajaan
milenial. Melalui kovenan Abrahamik, Allah mulai berhubungan dengan bangsa
Israel, dengan tujuan untuk membawa bangsa ini ke suatu tempat berkat rohani di
mana bangsa ini akan menjadi alat Allah untuk memberkati bangsa-bangsa di
dunia. Israel diberikan Kovenan Musa yang bersyarat sebagai demonstrasi
kekudusan Allah. Mereka yang ingin masuk dalam persekutuan dengan Allah yang kudus,
maka mereka juga harus memiliki standar kekudusan-Nya. Allah berhubungan dengan
bangsa Israel dan non-Israel adalah untuk membawa mereka semua ke tempat
berkat. Tema yang berulang kali dinyatakan dalam PL adalah kesinambungan tema
tentang dosa umat manusia dan anugrah Allah untuk memulihkan manusia yang
berdosa.
Allah menjanjikan berkat, keturunan
dan tanah kepada Abraham, Ishak dan Yakub. Janji – janji itu dapat disertai
sumpah, dihubungkan dengan perjanjian atau berdiri sendiri sebagai firman Allah;
janji – janji itu merupakan benang merah dalam cerita leluhur. Memberikan
janji, menjanjikan sesuatu, berarti memberitahu bahwa sesuatu akan diberi.
Pelaksanaan dan pemberiannya yang menentukan baru berlangsung di masa depan,
sedangkan pemberitahuannya, yang tak kurang pula menentukan berlangsung di masa
kini.[2]
Pembentukan sebuah generasi baru
melalui Abraham, tentu bermuara pada pencapaian dimensi kemanusiaan yang telah
ditetapkan Allah sejak semula. Melalui keturunan Abraham diharapkan akan
menurunkan orang – orang yang hidup berdasarkan iman dalam kekuasaan yang dapat
memberi kesinambungan secara sosial dengan setiap orang di muka bumi. Jadi
bukan sebuah generasi atau kelompok ekslusif yang hanya berfokus pada satu
genetika melainkan pada keseluruhan umat manusia di muka bumi.
Allah menetapkan bahwa melalui Abraham
akan membuka peluang bagi setiap orang yang percaya untuk menikmati berkat
melalui pengenalan akan Tuhan dengan pengertian dan pemahaman yang benar. Sehingga
pendelegasian tugas dan tanggung jawab yang telah gagal dikerjakan oleh Adam dan
Hawa dipercayakan kepada Abraham dan keturuannya. Di dalam hal ini tetap
berlaku peraturan yang sama yang secara adil menuntut ketaatan kepada perintah
Allah. Sehingga orang Israel tidak dapat mengabaikan perjanjian Abraham di
dalam hal pemilihan mereka sebagai bangsa yang diberkati bagi kehidupan dunia.
Tuhan menciptakan langit dan
bumi. Itu sebabnya Ia pun memilikinya. Kesadaran inilah baru timbul di zaman
Pembuangan dan tidak menjawab pertanyaan apakah sebabnya tanah Kanaan secara
khusus menjadi tanah milik-Nya (Im. 25: 23). Pemilihan tanah itu, sama seperti
pemilihan Israel sebagai umat-Nya, tetap merupakan rahasia Allah. Allah
memberikan tanah Kanaan ke pada umat-Nya agar mereka diam disitu – dengan hak
tinggal – dan mencari nafkah dengan menggunakannya sebagai padam gembalaan,
ladang dan kebun. Israel tidak bertuan atas tanah Tuhan sebagai orang asing dan
pendatang (Im. 25: 23) dan bertanggung jawab pada-Nya atas tindak – laku di
tanah itu. Di situ Allah yang berkuasa dan memberkati engkau dengan berkat dari
langit di atas dan dengan berkat samudera raya yang letaknya di bawah, dengan
berkat buah dada dan kandungan” (Kej. 49: 25; bnd. Kej. 27: 28). Embun dan
hujan serta sumber air, bahkan keturunan dijanjikan kepada mereka.”Kiranya
negeri diberkati dengan yang terbaik (Ul. 33: 13 – 17). Berkat ini pun hanya
mengalir jika hubungan baik dengan Tuhan dipelihara. “Segala berkat ini akan
datang padamu dan menjadi bagianmu, jika engkau mendengarkan suara Allahmu.
Diberkatilah engkau di kota dan diberkatilah engkau di ladang...diberkatilah
engkau waktu masuk dan diberkatilah engkau pada waktu keluar (Ul. 28: 1 – 6;
bnd. Mzm. 3: 9). Bahkan Allah dapat “mengubah kutuk menjadi berkat bagimu,
karena Tuhan Allahmu, mengasihi engkau (Ul. 23: 5b).[3]
3.
Perjanjian Berkat dalam PB
Perjanjian berkat lebih
mengedepankan sisi rohani tetapi sekali – kali tidak akan mengabaikan kebutuhan
manusia secara materi. Sekalipun disadari bahwa masing – masing memiliki
peranan yang berbeda namun keseimbangan diantara keduanya akan menopang
kehidupan yang lebih baik selama manusia hidup di dalam dunia. Bahwa Allah
tidak memaksudkan penciptaan dunia materi sebagai hal yang berdosa karena kalau
tidak demikian maka tubuh manusia bersifat dosa. Tetapi yang dimaksudkan adalah
motif – motif keinginan dan kehendak yang harus diselaraskan dengan tujuan
Allah.
Yesus sebagai Tuhan dan
Juruselamat menggunakan tubuh manusia di dalam mewujudkan kelahiran-Nya, di
dalam hal ini diperlihatkan bahwa tubuh manusia tidak dapat dihakimi bersifat
dosa.Yesus yang dikandung oleh Roh Kudus memberikan perbedaan antara
kemanusiaan Allah dengan manusia berdosa yang dikandung dari benih laki – laki.
Demikianlah dasar pemikiran bagi pandangan dan hakekat dunia materi sebagai
berkat yang kudus dari Allah. Kalaupun di dalam realita manusia acapkali
menggunakannya untuk tujuan yang berdosa namun hal itu tidak menurunkan nilai
esensi materi yang adalah ciptaan Allah sepenuhnya.
Perjanjian Baru tidak mengubah
atau meniadakan perjanjian berkat Allah yang telah ditetapkan di dalam
Perjanjian Lama bagi bangsa Israel maupun bangsa – bangsa, melainkan
menggenapinya di dalam Yesus Kristus.
Tetapi lebih menekankan pada arti panggilan Allah di dalam
perjanjian-Nya di dalam mengerjakan keselamatan. Artinya berkat yang dijanjikan
Tuhan adalah untuk merealisasikan wujud keselamatan di dalam kehidupan yang
baru berdasarkan keinginan Roh dan bukan keinginan daging.
Tuhan Yesus mengatakan tentang
kebahagiaan orang – orang yang miskin dihadapan Allah sebagai sesuatu yang
mustahil tetapi mungkin bagi Allah. Bahkan secara tegas Ia mengemukakan tentang
kebodohan orang – orang yang kaya karena motivasi keinginan mereka yang sempit
dan berdosa. Tuhan Yesus menempatkan posisi materi berdasarkan keinginan dan
motivasi yang dimiliki jadi bukan hanya sekedar pada faktor kepemilikan atau
cara mengusahakan. Bahkan para rasul mengungkapkan teguran terhadap orang –
orang mencintai uang yang kemudian menimbulkan konflik di dalam berjemaat.
Disisi lain Yesus memberi pujian
terhadap pemberian orang – orang yang miskin yang memberi dengan segenap hati
dan jiwa untuk menghormati Tuhan. Dalam hal ini yang dilihat bukan ukuran
pemberian melainkan motivasi di dalam memberi. Menempatkan kekayaan dengan
sikap hati yang benar adalah dasar dari kelayakan orang – orang percaya untuk
menerima berkat yang sesungguhnya.
- Hidup
Berkelimpahan
Makna hidup yang berkelimpahan
dalam Kerajaan Allah, harus dipandang dengan dasar yang benar untuk
menyelaraskan antara kekayaan dan kehidupan yang kekal. Kekayaan yang terpisah
dari tujuan Allah, adalah sebuah kesia – siaan belaka dan tidak memiliki arti
sama sekali. Namun jika kekayaan yang dimaksudkan berjalan sesuai dengan misi
dan visi Allah didam dunia secara seimbang tentu akan mendatangkan
kesejahteraan bagi umat manusia.
Berkat itu mengalir terus-menerus
bagaikan air sungai yang dapat dinikmati, digunakan untuk mengairi tanaman, dan
diolah demi kepentingan hidup. Demikian juga berkat mengalir dan diolah menjadi
damai sejahtera antarmanusia.[4]
Tujuan Allah bagi kehidupan
manusia di bumi adalah untuk menikmati berkat – berkat Allah melalui kelimpahan
yang telah terlebih dahulu disediakan dengan menempatkan mereka di Taman Eden.
Maksud penempatan yang sesungguhnya tidak bersifat pasif tetapi progresif
karena manusia diberi tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga serta
berkembang melalui keturunan untuk memenuhi bumi. Jadi keberkatan dan
kelimpahan dari Tuhan tidak hanya ditujukan bagi orang – orang tertentu saja
melainkan secara global bagi seluruh umat manusia. Dengan jalan dan cara
demikian maka tidak ada pemisahan atau mengesampingkan orang – orang yang
dianggap tidak layak untuk memperoleh hidup yang layak. Sekalipun pada
kenyataan tidak semua orang mengalami tingkatan yang sama di dalam hal
memperoleh kekayaan namun itu tidak ditujukan hanya untuk sebagian orang, dan
mereka yang telah menerima dituntut keperduliaannya didalam menyalurkan berkat
Allah, terhadap sesama manusia.
Dalam satu bagian, objek iman itu
dinyatakan sebagai “Percayalah kepada Allah!” (Mrk. 11: 22). Iman yang demikian
itu berarti keyakinan yang utuh dalam kuasa dan kebaikan Allah dan dalam
kesedian-Nya untuk memberkati orang – orang yang percaya kepada-Nya.[5]
Orang percaya dapat menerima
janji atas kelimpahan dengan terlebih dahulu memperoleh apa yang pernah
terhilang yaitu keselamatan. Barulah disusul oleh hal lain yang bersifat
kebutuhan yaitu materi dan segala sesuatu yang bersifat menunjang kehidupan
sebagai anak – anak Allah. Jadi kelimpahan memiliki keterkaitan dengan maksud
penyelamatan Allah di dalam kehidupan manusia. Keselamatan tidak hanya dilihat
dari sudut pandang yang akan datang tetapi juga dalam konteks masa kini, oleh
penyertaan Allah orang – orang percaya mengerjakan tanggung jawab bagi Kerajaan
Allah.
Kerajaan Allah adalah suatu
kepercayaan kehidupan masa kini secara
bertanggung jawab sebagi anak – anak Allah. Janji bahwa mereka yang meminta
akan menerima dan mereka yang mencari akan mendapatkan (Mat. 7: 7), patut
dipahami dalam konteks ini. “Hal yang dicari adalah Kerajaan Allah, yang
setelah ditemukan adalah pemenuhan dari segala kebutuhan (Luk. 12: 31).[6]
Tujuan utama dari ucapan bahagia
itu adalah untuk mengajarkan suatu berkat kebahagiaan masa kini, dan bukan
menjanjikan berkat dalam masa penggenapan kelak. Penghiburan bagi mereka yang
berdukacita karena kepapaan rohani. Bersifat masa kini dan yang akan datang,
sebagai masa lalunya kepuasan bagi yang lapar (Mat 5: 4, 6). Anugerah Kerajaan,
yang disebutkan dua kali barangkali termasuk masa kini, maupun yang akan
datang. Ucapan Bahagia itu menjelaskan keselamatan eskatologis maupun kebahagiaan
masa kini.[7]
Adalah lebih baik memiliki
pandangan konstruktif terhadap harta, jabatan dan kekuasaan secara proporsional
dan profesional karena tidak dapat dipungkiri selama manusia hidup di dalam
dunia akan selalu berurusan dengan materi. Artinya perwujudan dari berkat yang
sesungguhnya didalam realita akan memuat hal – hal yang bersifat materi. Tetapi
perbedaannya adalah bahwa segala kepemilikan terhadap semuanya itu tidak
berasal dari tujuan yang merusak (destruktif). Segala potensi yang dimiliki
oleh manusia sudah barang tentu ditujukan untuk kemakmuran dan kemajuan
kehidupan yang lebih baik dan bermartabat.
Semua hal itu merupakan sebab
akibat atas proses yang secara alami dapat terjadi bagi mereka yang melakukan
tugas secara maksimal dan bertanggung jawab. Artinya semua orang berhak
memperoleh kesempatan dan peluang yang sama untuk memperoleh keberhasilan
hidup. Sekalipun hal itu tidak menjamin pencapaian keselamatan yang terdapat di
dalam Yesus Kristus. Usaha yang maksimal dengan penuh kesungguhan pada akhirnya
akan mencapai taraf hidup yang lebih baik secara materi. Acapkali kali hal ini
luput dari perhatian orang – orang Kristen yang kadang – kadang beranggapan
bahwa kekayaan duniawi adalah kemustahilan dan kekayaan sorgawi adalah sebuah
kepastian. Bisa saja pemikiran ini diakibatkan oleh teologi penderitaan yang
lebih mendominasi kekristenan pada abad – abad pertama SM. Kadangkala prinsip
Kerajaan Allah yang dijelaskan para pengkotbah tidak memiliki relevansi
terhadap kehidupan nyata dan orang percaya hanya sebagai pelengkap dan objek
penderita. Adalah lebih baik memberikan pemahaman secara wajar terhadap segala
hal terkecuali keselamatan yang diberikan sebagai kasih karunia dan bukan usaha
manusia. Setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh kehidupan yang
lebih baik sehingga tidak dapat dipisahkan dari konteks membangun manusia
seutuhnya dalam rambu – rambu dan koridor secara normatif. Yang membedakan keberhasilan orang
percaya adalah semuanya dibangun dalam kerangka penggenapan janji Allah dan
penggenapannya baik dalam kehidupan masa kini dan yang akan datang. Sedangkan
bagi orang duniawi semua hal bisa ditujukan untuk keinginan dan kepentingan
sendiri. Terlepas dari motivasi yang terkandung dibalik keinginan menjadi kaya,
hal itu bukanlah sebuah konsep belaka melainkan suatu kenyataan yang dapat
terjadi bagi setiap orang yang mau bekerja dan berusaha sungguh – sungguh.
1.
Pola Kehidupan Kerajaan Allah
Yesaya 35 menggambarkan dengan
hidup pemugaran alam pada periode tersebut. Berkat – berkat luar biasa ini akan
terjadi sesudah kedatangan Kristus, dan merupakan berkat kerajaan di bumi. Pada
masa itu “Tuhan akan menjadi Raja atas seluruh bumi” (Zakharia 14: 9). [8]
Kerajaan Yesus di bumi dalam
konteks masa kin tentu diarahkan secara khusus melalu Gereja sebagai tubuh
Kristus. Merealisasikan tujuan Allah dan mencapai sasaran keselamatan bagi jiwa
tentu bukan hanya sebagai upaya eskatologi semata – mata rohani. Melainkan
memberi kontribusi bagi kebutuhan pergumulan selama hidup di dunia, tentu saja
unsur materi memiliki peranan dan fungsi untuk membangun manusia seutuhnya dan
tidak terlepas dari konteks sosial.
a.
Hidup
Masa Kini
Jika kita bertanya tentang isi
dari alam baru yang penuh berkat ini, kita mendapati bahwa basileaia, tidak
hanya berarti pemerintahan Allah yang dinamis dan kenyataan tentang
keselamatan, melainkan juga dipakai untuk menunjukkan anugerah hidup dalam
keselamatan. Inilah unsur lain dalam ajaran Yesus. Kerajaan Allah berlaku
sebagai satu istilah yang lebih luas bagi semua yang termasuk dalam keselamatan
mesias...jika Kerajaan Allah adalah pemberian hidup yang dianugerahkan kepada
umat-Nya pada waktu Ia menyatakan pemerintahan di dalam kemuliaan eskatologis,
dan jika Kerajaan Allah adalah juga kekuasaan Allah menerobos sejarah sebelum
penggenapan eskatologis, maka tentunya kita boleh menerima pemerintahan Allah
sekarang untuk mendatangkan berkat awal kepada umat-Nya. Inilah fakta yang kita
temukan. Kerajaan itu bukan hanya suatu pemberian eskatologis dari Masa Yang
Akan Datang, melainkan juga satu pemberian yang diterima dalam aenon (masa,
zaman) lama.[9]
Merepresentasikan Kerajaan Allah
didalam dunia tentu tidak dapat mengabaikan aspek kekinian dalam kerangka
manusia baru yang memiliki tanggung jawab dalam dimensi kekekalan. Segala
sesuatu yang dianugerahkan Allah selama manusia hidup di dunia memiliki
keterkaitan dengan aspek soteriologi dan eskatologi. Hal inilah yang tidak
disadari oleh manusia di akhir zaman dan faktor kejatuhan manusia pertama.
Sehingga kepercayaan yang diberikan oleh Tuhan untuk berkuasa dibumi tidak
malah diselewengkan untuk kepentingan diri sendiri yang lebih didorong oleh
keinginan daging.
Karya Kristus memampukan orang percaya
untuk membangun hidup yang tidak rapuh terhadap aspek material yang bersifat
sementara tetapi pada motivasi yang digerakkan oleh Roh Kudus. Sehingga di
dalam mencapai tujuan hidup, orang percaya tidak lagi menempatkan kebahagiaan
pada hal – hal yang terbatas tetapi pada pencapaian maksud Allah. Melalui Roh
Kudus yang mendiami orang percaya, potensi keberhasilan lebih cenderung
diarahkan pada kesempurnaan hidup di dalam Tuhan. Jadi bukan sekedar untuk
memiliki banyak harta, menjadi penguasa atau menikmati berbagai – bagai
kemudahan. Tetapi lebih merupakan faktor pendukung untuk membangun manusia yang
utuh dan mulia sebagai gambar dan rupa Allah.
b.
Hidup
pada Masa yang Akan Datang
Matius
25:14
"Sebab hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang yang mau bepergian ke luar
negeri, yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka.
Perumpamaan tentang talenta disusun dalam kerangka kerja pengajaran Yesus tentang
kedatangan-Nya kembali. Sama seperti gadis-gadis pengiring pengantin itu
menunggu, demikian juga hamba-hamba yang menerima uang tuannya itu bekerja.
Perumpamaan ini mengajarkan bahwa selama Yesus tidak ada, pengikut-pengikut-Nya
diharapkan rajin bekerja dengan karunia-karunia yang Dia percayakan kepada
mereka. Pengikut-pengikut-Nya bertanggung jawab kepada-Nya pada waktu Dia datang
kembali. Karena perkataan-perkataan seperti "turutlah dalam kebahagiaan
tuanmu" dan "campakkanlah hamba yang tidak berguna itu ke dalam
kegelapan yang paling gelap. Di sanalah akan terdapat ratap dan kertak
gigi," Yesus mengisyaratkan bahwa perkataan ini bukan semata-mata
perkataan dari tuan itu. Kata-kata ini adalah perkataan-Nya sendiri yang
menunjuk kepada hari penghakiman.
Dasar pemikiran bagi kehidupan yang akan datang sangatlah ditentukan pada masa
kini, dimana orang – orang yang diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk
menjalankan tugas sesuai dengan kemampuan masing – masing. Bahwa fakta
perumpaan tentang talenta dapat disaksikan dalam realita yang sesungguhnya.
Perbedaan antara si miskin dan kaya bukanlah sebuah rahasia demikian juga orang
yang berhasil dan sukses dengan mereka yang gagal. Bukankah semuanya ditentukan
oleh kemauan untuk melipatgandakan apa yang dimiliki dengan usaha dan upaya
yang sungguh – sungguh. Sekalipun keberhasilan orang percaya tidak ditentukan
oleh daya dan upaya manusia tetapi hal itu menunjukkan kemauan untuk maju untuk
melakukan kehendak Tuhan. Keberhasilan orang percaya selama hidup sangat
ditentukan oleh kemauan untuk melakukan perintah Tuhan, jumlah bukanlah ukuran
melainkan kemampuan untuk melipatgandakan potensi yang dipercayakan dalam diri
setiap orang. Hal inilah yang menjadi penilaian pada masa yang akan datang di
dalam penghakiman dimana setiap orang akan dituntut pertanggungan jawab atas
setiap tindakan dan pekerjaan yang dilakukan. Hidup masa kini dan yang akan
datang memiliki keterkaitan dan tidak boleh diabaikan antara satu dengan yang
lain. Jika orang percaya memiliki pengharapan yang pasti pada masa yang akan
datang tentu harus diperlihatkan dalam sikap dan perbuatan sehari – hari.
Menantikan kehidupan kekal sama pentingnya dengan melakukan pekerjaan yang
terbaik dengan sikap yang dipenuhi keinginan untuk maju dan berhasil di dalam
segala hal.
c.
Relevansi
Kelimpahan dalam Bidang Sosial
Ketika
seseorang menjadi kaya dan berkelimpahan dalam segala hal, tentu merupakan
sebuah fenomena yang berbanding lurus dengan dampak yang diberikan terhadap
orang – orang disekitarnya. Keberhasilan tidak dapat disembunyikan hanya bagi
diri sendiri demikian juga untuk mencapainya juga tetap membutuhkan peranan
orang lain. Tidak ada rumus yang mudah untuk memperoleh kekayaan atau kekuasaan
semuanya akan diperhadapkan dengan berbagai tantangan baik yang sifatnya
membangun dan juga merusak. Bagi mereka yang sudah menempati posisi – posisi
strategis dalam strata sosial tentu untuk memperoleh fasilitas adalah sebuah
hal yang lumrah. Namun untuk sampai kepada tahap seperti itu tentu saja harus
melalui perjalanan yang berat dan panjang. Ukuran keberhasilan tidak dapat
dilihat dari kemudahan dan kemampuan mereka untuk meraih berbagai kemudahan
tetapi jalan yang mereka tempuh sebelum sampai pada taraf dan tingkatan hidup
yang luar biasa. Sekalipun demikian mereka tetap memiliki tanggung jawab
terhadap kehidupan, karena setiap orang yang dipercayakan lebih akan dituntut
berbuat hal yang sama. Dunia ini membutuhkan orang – orang yang dapat membangun
sehingga berkat Tuhan dapat dinikmati lebih banyak orang. Karena tidak semata –
mata Tuhan memberikan kepercayaan untuk kemudian menyembunyikannya atau
menggunakannya bagi diri sendiri melainkan memanfaatkan sebesar – besarnya bagi
kehidupan umat manusia. Sehingga kalau dikaji lebih mendalam Kerajaan Allah
membutuhkan orang – orang yang berpikiran dan bertindak maju untuk mengangkat
harkat dan martabat manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Dengan demikianlah
orang – orang dapat melihat bahwa manifestasi Kerajaan Allah yang membawa damai
sejahtera tidak mustahil dapat terjadi di dalam dunia pada masa kini.