WARISAN TABIAT MANUSIA DI BAWAH HUKUM DOSA
Oleh: Napoleon Manalu M.Th
- Pengertian
1. Istilah
Warisan Tabiat Manusia
Warisan tabiat manusia dibawah hukum dosa adalah bahwa manusia telah memiliki
sifat yang diwariskan sejak kejatuhan Adam. Sehingga kelahiran setiap orang berpeluang
untuk melakukan kejahatan yang menyebabkan kematian dan maut. Sebagaimana dijelaskan oleh Louis Berkhof, “Sejumlah
ayat dalam Alkitab mengajarkan bahwa dosa diwarisi oleh manusia sejak ia
dilahirkan dan dengan demikian ada dalam natur manusia sejak sedemikian awal
sehingga tidak mungkin dapat disebut sebagai peniruan, Mzm 51: 5; Ayb 14: 4;
Yoh. 3: 6. Dalam Efesus 2: 3 Paul berkata kepada orang – orang Efesus bahwa
mereka oleh natur mereka adalah anak – anak yang dimurkai; kendatipun juga
sebagai sisanya. Dalam ayat ini istilah pada dasarnya menunjuk kepada sesuatu
yang dibawa lahir dan asli berbeda dengan pengertian akan sesuatu yang
diperoleh kemudian. Jadi dosa adalah suatu yang asli yang dilakukan semua
manusia dan menjadikan mereka bersalah di hadapan Allah. Lebih dari itu menurut
Alkitab maut juga dialami bahkan juga oleh mereka yang tidak pernah melakukan suatu
pilihan pribadi yang dilakukan dengan sadar, Roma 5: 12 – 14. Ayat ini
mengandung pengertian bahwa dosa ada pada bayi – bayi sebelum mereka memiliki
kesadaran moral. Karena bayi – bayi itu mati, maka dosa mereka ada pada mereka,
maka wajarlah jika kita mengasumsikan bahwa penyebabnya juga ada. Akhirnya,
Alkitab juga mengajarkan bahwa semua manusia di bawah hukuman dan membutuhkan
penebusan yang ada di dalam Yesus Kristus.[1]
Manusia berada di bawah hukum dosa adalah konskwensi pelanggaran terhadap
kehendak Allah, sebagai bagian yang
tidak dapat diselesaikan melalui usaha manusia. Peradaban manusia memunculkan
berbagai tindak kejahatan yang bersumber pada potensi dosa yang telah dimiliki
oleh semua orang. Hal ini tidak berarti bahwa manusia ditujukan untuk memenuhi
keinginan dosa dari sejak penciptaan, melainkan natur manusia setelah Adam telah
memiliki ikatan dengan sifat – sifat dosa.
2. Tabiat Yang Diwariskan
Roma 7: 24 Sebagaimana dijelaskan oleh Donal Guhtrie, “Paulus tidak
mengatakan bahwa kerangka
badaninya adalah jahat ; ia
tidak memaksudkan penghinaan tubuh manusia yang
diciptakan Allah itu. Tapi yang dimaksudkannya adalah “warisan tabiat
manusiawi yang ada di bawah hukum dosa dan maut yang dimilikinya sama dengan
semua anak Adam (Bruce).[2]
Tubuh sebagai wujud materi bukanlah awal atau sumber dari dosa,
sekalipun bersentuhan secara langsung
dengan berbagai tindak kejahatan. Dosa dihasilkan dan dirancang oleh keinginan
dan bukan oleh tubuh sehingga dalam hal ini sifat harus dibedakan dengan wujud.
Dosa selalu bersifat rohani sedangkan tubuh adalah wujud secara materi. Sifat
rohani adalah kekuatan yang menggerakkan materi untuk mewujudkan keinginan dalam
sebuah tindakan yang nyata, sehingga baik jiwa maupun tubuh bertindak jahat.
Sebelum kejatuhan, Allah dan Adam bersekutu satu sama lain; setelah
kejatuhan manusia, persekutuan itu putus. Nenek moyang kita yang pertama mulai
menyadari ketidaksenangan Allah terhadap mereka; mereka telah melanggar
perintah Allah yang tegas untuk tidak makan buah pohon pengetahuan tentang yang
baik dan yang jahat, dan oleh karena itu mereka bersalah. Mereka sadar bahwa
mereka telah kehilangan kedudukan mereka di hadapan Allah dan bahwa mereka kini
di bawah penghukuman-Nya.[3]
Pelanggaran terhadap perintah Allah adalah hasil pemikiran manusia yang
mengarahkan fokus tubuh untuk melakukan dosa. Akibat yang ditimbulkannya adalah
bahwa tubuh berada pada posisi sebagai
pelaku tetapi kesadaran keberdosaan itu tentulah berasal dari pikiran. Sekalipun pada akhirnya tubuh harus
menanggung hukuman atas dosa, namun prakarsa untuk berdosa berasal adalah dari akal budi manusia.
3. Dampak Tabiat Manusia
Kejatuhan manusia juga memberikan gambaran perbedaan kualitas sebelum dan
sesudah manusia jatuh ke dalam dosa. Bahwa penciptaan terhadap manusia berada
dalam kekudusan dan kesempurnaan tanpa adanya kesalahan di dalamnya. Semuanya
ditujukan kepada rancangan Tuhan untuk kebaikan sehingga, penciptaan bukanlah sumber atau penyebab kejatuhan. Ketika Adam
dan Hawa baru saja diciptakan, mereka
bukan saja tidak bersalah, tetapi mereka juga kudus. Mereka tidak memiliki
sifat yang berdosa. Kini mereka merasa malu, hina, dan tercemar. Ada sesuatu
yang harus mereka sembunyikan. Mereka telanjang dan tidak dapat tampil di
hadapan Allah dalam keadaan yang telah keji. Kesadaran akan ketidaklayakan
mereka itulah yang menyebabkan mereka membuat pakaian dari daun ara (Kejadian
3: 7). Mereka tidak hanya malu tampil di hadapan Allah dalam keadaan yang baru
itu, tetapi mereka juga malu untuk berhadapan satu dengan yang lain. Secara
moral mereka telah hancur . Allah telah berfirman kepada Adam mengenai pohon
yang terlarang itu. “Pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati”
(Kejadian 2: 17). Kematian ini pertama – tama merupakan kematian rohani, yaitu
terpisahnya jiwa manusia dari Allah. Kematian rohani ini tidak hanya berarti
bahwa kita tidak mampu menyenangkan hati Allah, tetapi juga bahwa sifat mereka
tercemar. Demikianlah “dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang” (Roma
5: 12). Kenyataan bahwa dosa masuk ke dalam dunia melalui Adam berarti bahwa
dosa mulai hadir di dalam umat manusia dan manusia mulai berbuat dosa, perangai
manusia menjadi rusak dan manusia mulai bersalah. Manusia menjadi orang berdosa
(Roma 5: 19). Pelanggaran yang sesungguhnya bersumber pada sifat manusia yang
berdosa.[4]
Sadar atau tidak sadar dosa adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan
pilihan manusia dan tanggung jawab terhadap akibat yang ditimbulkannya berada
pada manusia itu sendiri. Sehingga maut yang muncul sebagai hukuman atas dosa
adalah bagian yang harus diterima sebagai bagian dari pertanggungan jawaban
secara spritual dan moralitas. Manusia secara utuh akan dijatuhi hukuman yang
menimpa manusia secara utuh baik, roh, jiwa dan tubuh tanpa terkecuali. Dan
menimbulkan kerusakan terhadap hubungan manusia dengan Tuhan, yang menyebar ke
segala aspek kehidupan. Dampak dari kejatuhan kedalam dosa adalah kematian
manusia sebagai hasil akhir dalam
kebinasaan. Bukan hanya itu semua manusia yang mati di dalam dosa memiliki
kesamaan sebagai keturunan yang berdosa. Artinya dosa setiap
orang dalam bentuk ukuran dan bentuk apapun akan
ditetapkan sama dengan
dosa Adam yaitu
pelanggaran dan ketidaktaatan dan hukumannya adalah
kematian secara rohani dan moral dalam tubuh.
Ketika mengatakan bahwa sebagai akibat ketidaktaatan manusia “pasti akan
mati” (Kejadian 2: 17). Allah memaksudkan tubuh mereka juga. Allah berfirman
kepada Adam, sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu” (Kejadian
3: 19). Kata – kata Paulus, “Sama seperti semua orang mati dalam persekutuan
dengan Adam” (I Korintus 15: 22), terutama menunjuk kepada kematian jasmaniah.
Ketika menulis bahwa”...dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang dan
oleh dosa itu juga maut (Roma 5: 12). Paulus mencantumkan konsepsi kematian
yang menyeluruh: fisik, rohani, dan abadi. Selanjutnya, karena kebangkitan
tubuh merupakan bagian dari penebusan (Roma 8: 23), kita tidak dapat
menyimpulkan bahwa kematian jasmaniah merupakan akibat dari dosa Adam.[5]
Kematian sebagai hukuman atas dosa yang akan dialami oleh setiap orang
dimulai dari kematian moral sebagai pilihan manusia dan bukan karena tubuh
manusia. Karena sumber pemberontakan manusia berada di dalam pilihan – pilihan
yang berdosa yang telah ditetapkannya berdasarkan pertimbangan moral.
Sebagaimana dijelaskan oleh Henry C. Tiessen, “Kematian moral merupakan
kematian hidup Allah di dalam diri mereka dan tabiat mereka menjadi penuh dosa;
kematian rohani berarti bahwa hubungan mereka dengan Allah sebelumnya sudah
hancur. Sejak dosa Adam dan Hawa, semua orang yang lahir memasuki dunia dengan tabiat
yang berdosa (Roma 8:5-8). Pencemaran tabiat manusia meliputi keinginan bawaan untuk
mengikuti kemauannya sendiri tanpa memperhatikan Allah atau sesama, dan
pencemaran ini diteruskan kepada semua orang (Kejadian
5:3; Kejadian 6:5; 8:21; Efesus 2:3; lihat Roma 3:10-18).[6]
Kematian moralitas sebagai tabiat yang berdosa menyebabkan kecendrungan
manusia untuk mengikuti keiginan memenuhi tuntutan kematian dan tidak lagi
dipengaruhi oleh pertimbangan yang membawa kepada kehidupan. Manusia telah
digerakkan untuk memenuhi hasrat yang
berdosa dalam segala tindakan dan perbuatannya. (Bersambung)
(Dikutip dari Thesis : Tinjauan Teologis Terhadap Warisan Tabiat Manusia Di Bawah Hukum Dosa Dan Penyelesaiannya Di Dalam Karya Kristus Berdasarkan Roma 7: 26) Penulis: Napoleon Manalu
[1] Op. Cit. Louis Berkhof,
hal. 125 - 126
[2] Ibid, Donald Guthrie, hal.
437
[3] Henry C. Tiessen, Teologi
Sistematika, (Malang: Gandum Mas, 1997), hal. 279 - 280
[4]
Ibid, Henry C. Tiessen, hal. 280
[5]
Ibid, Henry C. Tiessen, hal. 281
[6]
The Full Life Study Bible. Life
Publishers International, Teks Penuntun edisi Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gandum
Mas, 1992. Hal. 1993 - 1994